-->

Pengertian & Objek Ilmu Tauhid

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: "Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa serta taat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisihi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun di luar dirinya" (Majmu' Fatawa 15/25)[1]

Pengertian Ilmu Tauhid
Ditinjau dari sudut bahasa (ethimologi) kata tauhid adalah merupakan bentuk kata mashdar dari asal kata kerja lampau yaitu: Wahhada yuwahhidu wahdah yang memiliki arti mengesakan atau menunggaalkan.[2] Dan kemudian ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah bahwa kata tauhid mengandung makna Keesaan Tuhan.[3] Maka dari pengertian ethimologi tersebut dapat diketahui bahwa tauhid mengandung makna meyakinkan (mengi’tikatkan) bahwa Allah adalah “satu” tidak ada syarikat bagi-Nya.
Dari sudut istilah (therminologi) telah dipahami bersama bahwa setiap cabang ilmu pengetahuan itu telah mempunyai objek dan tujuan tertentu. Karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan juga masing-masing mempunyai batasan-batasan tertentu pula. Demi batasan-batasan tersebut pengaruhnya adalah sangat besar bagi para ilmuan dan cendikiawan di dalam membahas mengkaji dan mentela’ah objek garapan dari suatu cabang ilmu pengetahuan.
Demikian juga halnya pada kajian ilmu tauhid yang telah dita’rifkan oleh para ahli sebagai berikut:
Ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah dan sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya, dan sifat yang boleh ada pada-Nya dan sifat yang tidak harus ada pada-Nya (Mustahil), ia juga membahas tentang para rosul untuk menegaskan tugas dan risalahnya, sifat-sifat yang wajib ada padanya yang boleh ada padanya (jaiz) dan yang tidak boleh ada padanya (Mustahil).[4]
Syech Husain Affandi al-Jisr al-Tharablusy meta’rifkan sebagai berikut:
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas atau membicarakan bagaimana menetapkan aqidah (agama Islam) dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.[5]
Dari kedua ta’rif Ilmu Tauhid tersebut itu dapat diambil suatu pengertian bahwa pada ta’rif pertama (Syech Muhammad Abduh) lebih menitik beratkan pada obyek formal ilmu tauhid, yakni pembahasan tentang wujud Allah dengan segala sifat dan perbuatan-Nya serta membahas tentang para Rasul-Nya, sifat dengan segala perbuatannya. Sedangkan pada ta’rif kedua (Syech Husain al-Jisr) menekankan pada metode pembahasannya, yakni dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan, dan yang dimaksud di sini adalah dalil naqli maupun dalil aqli.
Objek Kajian Ilmu Tauhid
Obyek pembahasan atau yang menjadi lapangan pembahasan ilmu tauhid pada garis besarnya dibagi kepada tiga bagian utama yaitu:
v  Tauhid Ilahiyah
v  Tauhid Nubuwwah
v  Tauhid Sam’iyyat
Tauhid Ilahiyah
Tauhid Ilahiyah yaitu bagian Ilmu Tauhid yang membahas masalah ke-Tuhanan. Hal ini terdiri dari
a.       Tauhid Uluhiyah
Yaitu Tauhid yang membahas tentang ke-Esaan Allah dalam dzat-Nya tidak terdiri dari beberapa unsur atau oknum, tidak sebagaimana teologi Yahudi dan Masehi. Dia (Allah) sebagai Dzat yang wajib disembah dan dipuja dengan ikhlas, semua pengabdian hamba-Nya semata-mata untuk-Nya seperti berdo’a, nahr (kurban), raja’ (harap), khauf (takut), tawakal (berserah diri), inabah ( pendekatan diri) dan lin-lain. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
b.      Tauhid Rubbubiyah
Yaitu pembahasan tentang Allah sebgai Arrabbu, yaitu Esa dalam penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan semua makhluk-Nya. Sebagaimana  firman Allah yang menjelaskan siapakah yang memberi rizki pada manusia? Dalam surat Yunus ayat 31.
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
c.       Tauhid Dzat
Yaitu pembahasan tentang sifat-sifat dan nama-nama yang disebut sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat dan nama-nama-Nya adalah agung dan sempurna. Kita tidak boleh memberikan nama dan sifat yang dapat mengurangi keagungan dan kesempurnaan-Nya, atau menyesuaikan nama-nama dan sifat-sifat itu dengan yang lain seperti membagaimanakan, menggambarkan, mentasybihkan, menta’wilkan, mentahrifka atau menta’tilkannya sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 180.
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Tauhid Nubuwwah
Yaitu bagaimana ilmu tauhid yang membahas masalah kenabian, kedudukan dan peran serta sifat-sifat dan keistimewaannya. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat an-Nahl : 43 yang artinya:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui,
Tauhid Sam’iyyat
Yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah-masalah yang didengar dari dalil-dalil naqli seperti datangnya hari akhir, hari kebangkitan dari kubur, siksa kubur, mizan, dan lain-lain. Disebutkan dalam firman Allah dalam surat Az-Zumar 60 yang artinya:
 Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat Dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?




[2] Ahmad Warson Munawir, Al Munawi Kamus Bahasa Arab. Indonesia, Ponpes Al-Munawir, Yogyakarta, 1984, hal. 1646
[3] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Penerjemah Ahmadie Thoha, Penerbit Putaka Firdaus Jakarta, Cetakan Pertama, 1986, hal. 589
[4] Syech Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terjemah KH. Firdaus, AN-PN Bulan Bintang, Jakarta Cetakan Pertama, 1963, hal. 33
[5] Hussain Affandi al-Jisr, al-Hushumul Hamidiyah, Ahmad Nabhan, Surabaya, 1970, hal. 6.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis materi biologi secara Up To Date via email